Sabtu, 23 April 2011

INJEKSI ANTIGEN (E.coli) PADA HEWAN COBA, BOOSTER DAN ISOLASI SEL LIMFOSIT

BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Dasar Teori
1.1.1        Tinjauan Umum Antigen-Antibodi
Antigen adalah suatu molekul yang merangsang respon imun, dan juga merupakan molekul yang bereaksi terhadap antibodi atau sel T (Roitt, 2003). Namun antigen ini berbeda dengan immunogen. Immunogen adalah suatu bahan atau makromolekul yang bisa menimbulkan respon imun, humoral ataupun selular. Protein yang makromolekular adalah immunogen poten. Antigen adalah bahan yang dapat bereaksi terhadap antibodi dan merupakan target dalam respon imun. Sehingga, tidak semua antigen adalah immunogen, contohnya adalah lipid dan asam nukleat (Campbell dkk, 2003). Antigen memiliki daerah pengenalan atau yang disebut epitop. Epitop ini region yang ada pada antigen dan bersifat spesifik. Bagian daerah hipervariabel antibodi yang kontak langsung dengan epitop antigen adalah paratop. Hasil dari respon masuknya antigen ke dalam tubuh adalah adanya antibodi (Wegrzyn, 2003).
Antibodi dihasilkan dari aktifasi sel B oleh adanya antigen. Proses pembentukan antibodi ini dapat dilihat pada  pada gambar 1.1. Masing-masing antigen memiliki bentuk molekuler khusus dan spesifik untuk merangsang antibodi yang sesuai dengan antigen yang masuk. Sel B dan sel T dapat mengenali antigen yang masuk ke dalam tubuh secara spesifik akibat adanya reseptor antigen yang terikat pada membran plasmanya. Reseptor ini adalah antibodi transmembran dan sering disebut dengan immunoglobulin membran. Reseptor antigen pada sel T disebut sebagai reseptor sel T, namun perbedaannya pengenalan antigen terhadap sel T tidak akan menimbulkan produksi antibodi (Campbell dkk, 2003). Antigen yang pertama kali masuk ke dalam tubuh akan dikenal sebagai benda asing yang memicu respon kekebalan primer. Dalam respon primer ini, diperlukan waktu 10-17 hari bagi sel limfosit untuk membangkitkan sel efektor yang maksimum. Sel B dan sel T juga turut berperan dalam membangkitkan sel efektor B yang nantinya membesar dan disebut sel plasma. Sel plasma ini yang akan menghasilkan antibodi spesifik. Apabila suatu saat antigen yang sama ini masuk kembali ke dalam tubuh, maka respon imun yang terjadi akan lebih cepat dalam 2-7 hari, dan respon ini disebut sebagai respon kekebalan sekunder (Roitt, 2003). Dua ciri penting dari antibodi adalah spesifisitas dan aktivitas biologi (Playfair dan Chain, 2005).
Gambar 1.1 Perkembangan Sel B Limfosit (Burmester dan Pezzutto, 2003)
Limfosit yang dapat menghasilkan sistem kekebalan ini berasal dari sel induk pluripoten di sumsum tulang belakang atau hati janin yang sedang berkembang. Limfosit-limfosit ini kemudian akan berkembang menjadi sel T dan sel B, dimana differensiasi ini tergantung dari tempat pematangan sel limfosit. Limfosit yang berasal dari sumsum tulang akan bermigrasi ke timus, yaitu kelenjar yang terletak di rongga dada, dan pada timus inilah limfosit akan mengalami pematangan menjadi sel T. Selain limfosit yang bermigrasi, terdapat pula sel-sel limfosit yang melakukan pematangan pada sumsum tulang, dan sel-sel inilah yang akan menjadi sel B (Campbell dkk, 2003). Namun sel B yang berkembang di dalam sumsum tulang tidak dikenali sebagai antigen asing, sehingga sel B tidak dikenali oleh program apoptosis. Oleh karena itu limfosit nanti hanya mengenali molekul asing selain sel-sel limfosit itu sendiri. Hal inilah yang kemudian dapat mencentus terjadinya penyakit autoimmun seperti multiple sclerosis  (Roitt, 2003).
Kekuatan interaksi antara antigen dengan antibodi terdiri dari ikatan elektrostatik, ikatan hidrogen, hidrofobik dan van der walls. Kekuatan pengikatan ini akan bertambah besar apabila pemisahan antigen dan antibodi ditiadakan atau bila jarak antar molekul semakin mengecil. Ikatan antigen dan antibodi ini bersifat reversibel. Ikatan yang terjadi antara antigen dan antibodi dapat dilihat pada gambar 1.2. Kekuatan pengikatan pada bagian antibodi tunggal yang mengikat antigen dapat diukur dengan afinitas. Reaksi antigen yang multivalen pada campuran antibodi heterogen dalam antiserum, dapat diukur dengan aviditas, yaitu afinitas fungsional. Spesifisitas antibodi dengan antigen tidak absolut, sehingga antibodi dapat bereaksi silang dengan antigen lain dalam variasi derajat yang dinyatakan dalam aviditas relatif (Roitt, 2003).

Gambar 1.2 Pengikatan Antigen dengan Antibodi (Lodish dkk, 2003)

1.1.2 Organ-Organ Limfoid
Organ-organ yang berfungsi sebagai produsen sel-sel limfosit tubuh, dibagi menjadi dua, yaitu organ primer dan organ sekunder. Organ primer yang berfungsi sebagai produsen sel limfosit adalah sumsum tulang belakang dan thymus untuk mamalia dan Bursa Fabricius pada burung. Bone marrow atau sumsum tulang belakang merupakan tempat diproduksinya sel-sel pluripoten calon sel darah. Bone marrow  juga merupakan tempat pematangan sel limfosit B. Sel-sel stromal yang ada pada organ ini sangat berperan dalam proses pematangan sel limfosit. Sel-sel limfosit ini mengalami suatu proses seleksi yang dikenal sebagai seleksi negatif. Banyak sel-sel limfosit B yang mati di bone marrow dikarenakan sel-sel ini tidak membentuk molekul Ig yang fungsional, atau sel-sel ini dapat mengenali self-antigen  sehingga sel limfosit B akan mengalami proses apoptosis. Sel B yang lolos dari seleksi negatif akan mengikuti aliran darah. Selain bone marrow  ada pula organ yang disebut Thymus. Thymus ini adalah organ yang terletak diatas jantung namun dibawah kelenjar thyroid dengan bentuk yang datar. Tiap lobus organ ini dikelilingi oleh kapsul yang juga terbagi-bagi lagi menjadi beberapa lobul. Tiap-tiap lobul ini dipisahkan dengan sekat jaringan pengikat yang disebut trabeculae. Setiap lobul, memiliki kompartmen yang disebut cortex (bagian luar) dan medullam (bagian dalam). Bagian cortex dan medulla tersusun atas sel-sel ephitel, sel dendritik dan makrofag (Davis, 2010). Preparat organ thymus dapat dilihat pada gambar 1.3.

Gambar 1.3 Histologi Thymus (Davis, 2010)
            Bagian cortex dari thymus merupakan tempat pematangan dan perkembangan sel T, sekresi, differensiasi dan maturasi dari berbagai sitokin seperti alpha 1-thymosin, beta 4-thymosin, thymopoitin, thymulin dan IL-7, perkembangan sel progenitor untuk seleksi negatif T yaitu CD4 dan CD8. Bagian medulla berfungsi sebagai tempat pematangan sel positif CD4+ atau CD4-8 (Ceri, 2009). Organ thymus akan membesar semenjak lahir hingga masa pubertas. Setelah masa pubertas, maka organ thymus akan mengecil, dan ketika sudah menua, maka organ thymus hanya akan memiliki berat sebesar 3 gram. Hal ini pula yang menyebabkan penurunan respon immunitas siring bertambahnya usia (Davis, 2010). Selain organ-organ primer, terdapat pula organ-organ sekunder limfoid, yang berfungsi sebagai tempat eksposing pertama kali antara antigen dengan sel-sel limfosit. Organ-organ sekunder ini antara lain kelenjar limfa, spleen, MALT seperti tonsil dan Peyer's patches (Ceri, 2010).
            Organ-organ limfosit sekunder berfungsi untuk mengontrol kualitas dari respon imun. Perbedaan antara organ-organ limfoid sekunder ini akan berefek pada respon imunitas dan juga berhubungan dengan proses masuknya antigen. Kelenjar limfa merupakan penyaring dari antigen yang masuk melalui pembuluh limfa, sedangkan spleen  adalah organ yang akan menyaring antigen yang masuk melalui pembuluh darah. Fungsi utama dari kelenjar limfe adalah untuk menjebak antigen via afferen limfatik dan juga untuk menyediakan tempat bagi ekspansi klonal dari sel-sel limfoid (Canavera, 2010). Skematik kelenjar limfoid dapat dilihat pada gambar 1.3. Selain kelenjar limfoid, terdapat pula spleen, yang dapat menyaring darah dan merupakan organ limfoid tunggal terbesar yang ada di tubuh. Organ ini memiliki kapsul-kapsul fibrosa dengan trabeculae yang akan membagi spleen  menjadi beberapa sekat (Canavera, 2010). Skematik dari spleen dapat dilihat padagambar 1.4. Jaringan mukosal limfatik juga merupakan salah satu organ sekunder limfoid yang tidak terkapsulasi oleh daerah submukosal nodul. Organ ini bekerja secara sinergis dengan kelenjar limfa dan spleen untuk memproduksi sel B dan sel T efektor. Salah satu dari organ ini adalah tonsil yang memiliki sekitar 60% sel T.
Gambar 1.4 Lokasi Organ-Organ Primer dan Sekunder Limfoid (Davis, 2010)
Gambar 1.5 Skematik Kelenjar Limfoid (Canavera, 2010)
            Lalu lintas antar jaringan, peredaran darah dan kelenjar limfe memungkinkan sel yang sensitive terhadap antigen untuk menemukan antigen dan membawanya ke lokasi tempat respon terjadi. Sel memori dan progeninya akan membuat respon terhadap antigen yang masuk ke dalam tubuh lebih humoral. Limfosit memasuki kelenjar limfe melalui pembuluh aferen dan melewati HEV (Roitt, 2003).
Gambar 1.6 Skematik Organ Spleen (Canavera, 2010)

Gambar 1.7 Skematik Organ Peyer Patch's (Canavera, 2010)

1.2  Tujuan
Tujuan praktikum ini yaitu untuk menyuntikkan E.coli  pada hewan coba serta mengisolasi sel limfosit dari organ-organ limfoid.

BAB II
METODE

2.1 Bahan dan Alat
            Bahan yang dibutuhkan dalam praktikum ini yaitu suspensi E.coli, mencit dan tikus, alkohol 70% dan kapas. Alat yang dibutuhkan adalah seperangkat alat bedah, larutan PBS, tabung eppenddorf dan polipropilen, micropippet dan microtube, haemocytometer, cawan petri, serta spuit 1 ml.

2.2 Prosedur Kerja
2.3.1 Injeksi Antigen (E.coli) Pada Hewan Coba dan Booster
            Hewan coba yang digunakan adalah mencit. Mencit ini dipegang pada bagian tengkuk dengan menggunakan ibu jari dan telunjuk kiri, dan secara bersamaan tangan kanan menahan tubuh mencit agar tidak bergerak. Tubuh mencit kemudian dibalik, sehingga bagian ventral menghadap ke atas. Bagian ventral mencit diusap dengan kapas yang telah dibasahi alkohol 70% sebagai desinfeksi. Bagian perut mencit dicubit sedikit, kemudian spuit yang telah berisi suspensi E.coli disuntikkan perlahan pada bagian area kulit yang terangkat atau pada daerah intraperitoneal. E.coli yang disuntikkan adalah E.coli dengan pengenceran 107, 108, 109 Mencit dipelihara selama 2 mingggu. Perlakuan booster dilakukan dengan prosedur yang sama seperti injeksi antigen pada mencit. Booster dilakukan 1 minggu setelah prosedur injeksi antigen yang pertama. Tiap-tiap mencit yang dinjeksikan memiliki satu ulangan sehingga jumlah mencit keseluruhan adalah 6 dengan satu mencit kontrol.

2.3.2 Isolasi Sel Limfosit dari Organ Limfoid
Semua mencit perlakuan injeksi antigen E.coli dan juga mencit kontrol diambil lalu dibedah. Perut dari mencit dipegang bagian ventralnya kemudian disemprot dengan alkohol 70%, lalu bagian ventral tersebut digunting ke arah vertikal. Organ-organ yang diisolasi adalah limfa (spleen), lymph nodes, dan timus. Organ limpa (spleen), lymph nodes, timus dicuci dengan NaCl. Organ limpa (spleen), lymph nodes, timus kemudian dipencet dengan pangkal spuit searah jarum jam dalam cawan yang sudah berisi PBS dan diatasnya terdapat nylon milliopore. Homogenat yang ada dalam cawan kemudian dipindah ke tabung eppendorf 1,5 ml lalu disentrifugasi pada 3.500 rpm, 4°C selama 10 menit. Pelet yang diperoleh kemudian diresuspensi dengan 500 ml PBS. Suspensi kemudian diambil sebanyak 5 ml dan ditambah dengan 5  ml vital dye. Jumlah sel limfosit yang ada kemudian dihitung dengan menggunakan haemocytometer.

BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Analisis Prosedur
3.1.1 Injeksi Antigen (E.coli) Pada Hewan Coba
Prosedur awal yang dilakukan sebelum melakukan injeksi adalah preparasi hewan coba yang akan digunakan, seperti mempersiapkan bak, sekam dan penutup sekam. Hewan coba yang digunakan adalah mencit, yang nantinya langsung diberi penanda warna pada ekornya, yaitu warna biru dan hitam sebagai penanda mencit kelompok yang satu dengan kelompok yang lain. Alasan digunakan mencit sebagai hewan coba karena mencit mudah dalam penanganannya, serta volume antigen yang diinjeksikan juga hanya sedikit. Selain itu, karena praktikum yang dilakukan adalah isolasi sel limfosit, maka isolasi organ limfoid dari mencit sudah dapat representatif terhadap respon imun. Prosedur selanjutnya adalah persiapan antigen yang akan diinjeksikan. Antigen yang akan diinjeksikan adalah bakteri E.coli. Bakteri E.coli merupakan jenis bakteri yang penting dalam sistem pencernaan mamalia, sebab bakteri ini membantu pembusukan makanan sehingga makanan akan terombak menjadi zat-zat yang lebih sederhana. Namun, selain menguntungkan bagi saluran pencernaan, bakteri ini juga dapat merugikan apabila berada dalam jumlah yang banyak atau dimana bakteri ini sudah mengalami Quorum Sensing. Daerah antigenik pada E.coli adalah faktor penting dalam mekanisme virulen. Lipopolisakarida atau yang disebut sebagai antigen “O” serta polisakarida asam atau yang disebut sebagai antigen K merupakan antigen utama yang berperan dalam mekanisme virulen (Sietzen, 2010). Selain itu, E.coli mudah dalam pembiakannya sebab memiliki waktu regenerasi yang cepat.
Suspensi antigen E.coli ini dibiakkan selama 24 jam dalam media Luria Bertani (LB), yaitu jenis media selektif khusus untuk menumbuhkan mikroba E.coli (BP POM, 2010). Suspensi E.coli yang diinjeksikan adalah suspensi dengan pengenceran 107,108,109. Suspensi E.coli yang ada pada media LB kemudian diambil sebanyak 1 ml dan dimasukkan dalam haemocytometer. Prosedur ini bertujuan untuk menghitung jumlah awal sel yang ada pada media kultur awal, sehingga nantinya akan dapat ditentukan jumlah sel E.coli yang akan diinjeksikan sehingga menghasilkan suatu respon imun. Jumlah sel E.coli yang diperoleh, dihitung dengan rumus :
Jumlah Sel Bakteri :  å sel terhitung x faktor pengencer
                                          5. 4 x 10 –6
Untuk mendapatkan suspensi E.coli dengan pengenceran 108, maka diambil sejumlah 1 ml suspensi dari media induk, kemudian  suspensi ini disentrifugasi dengan tujuan untuk memisahkan bakteri E.coli dengan medianya. Sentrifugasi dilakukan dengan kecepatan 3500 rpm, 4°C selama 5 menit. Pelet yang sudah berisi E.coli diambil dan diresuspensi dengan NaCl 100 ml. Resuspensi ini bertujuan untuk menjaga kondisi pelet sebab merupakan larutan garam fisiologis yang dapat menjaga kondisi isotonis sel, menghilangkan kontaminan polisakarida serta dapat mengikat molekul protein sehingga protein akan terikat menjadi satu (Hartnell Faculty, 2010). Suspensi ini siap untuk diinjeksikan pada mencit.
Selain antigen dengan pengenceran 108, digunakan pula suspensi antigen dengan pengenceran 107, dan cara untuk mendapatkan suspensi ini yaitu diambil sebanyak 0,1 ml suspensi dari stok media induk, kemudian diberi penambahan 900 ml NaCl. Hal ini bertujuan untuk menjaga kondisi sel saat dilakukan proses sentrifugasi. Suspensi kemudian disentrifugasi selama 10.000 rpm, 4°C selama 10 menit. Pelet yang diperoleh kemudian diambil, dan supernatannya dibuang. Prosedur sentrifugasi ini bertujuan untuk memisahkan bakteri dengan medianya. Pelet kemudian diresuspensi dengan 100 ml NaCl agar pelet mudah untuk disentrifugasi kembali. Selain itu, NaCl ini juga berfungsi untuk menjaga kondisi isotonis sel. Suspensi pelet lalu disentrifugasi pada 10.000 rpm 4°C selama 10 menit, dan hal ini bertujuan untuk memperoleh antigen E.coli yang murni. Pelet lalu diberi penambahan 100 ml sebagai persiapan injeksi antigen pada hewan coba.
Injeksi antigen dengan pengenceran 109 dilakukan dengan mengambil sebanyak 10 ml suspensi yang dialiquot ke 10 eppendorf sebanyak 1 ml. Suspensi ini kemudian disentrifugasi selama 10.000 rpm 4°C selama 10 menit, yang berfungsi untuk memisahkan antara bakteri E.coli dengan medianya. Pelet yang diperoleh dari 10 tabung eppendorf tersebut kemudian dijadikan satu lalu disentrifugasi kembali dengan tujuan untuk memisahkan media dengan bakteri E.coli nya. Pelet yang diperoleh lalu diresuspensi dengan 100 ml NaCl. Suspensi ini kemudian siap diinjeksikan ke hewan coba (mencit). Tujuan dari bervariasinya jumlah sel yang diinjeksikan pada mencit adalah untuk mengetahui dosis mana yang dapat menginduksi respon imun berupa jumlah sel limfosit yang paling banyak. Selain itu juga untuk mengetahui lethal concentration dari suspensi antigen E.coli terhadap sel-sel limfosit.
Setiap suspensi baik dari pengenceran 107, 108 dan 109, diinjeksikan pada mencit secara intraperitoneal. Tujuan dari rute injeksi ini bergantung dari volume yang akan diinjeksikan serta tujuan dari injeksi. Tipe injeksi yang dilakukan dalam praktikum ini adalah intraperitoneal, seperti yang ditunjukkan pada gambar 4.1, hal ini dikarenakan fagositosis yang diharapkan terhadap antigen yang masuk adalah lambat (Playfair dan Chain, 2005), sehingga antigen akan dikenali perlahan dan hal ini penting dalam induksi pembentukan antibodi. Selain itu, tipe injeksi intraperitoneal ini berfungsi apabila volume yang diinjeksikan besar (Playfair dan Chain, 2005). Tipe injeksi yang lain adalah intradermal, yang bertujuan agar presentasi antigen pada sel-sel imun menjadi lebih cepat, sehingga respon yang dihasilkan juga cepat (Wang et all, 2008). Rute injeksi intradermal ini dilakukan dalam keadaan tikus yang anestesi, dan dilakukan pada lokasi yang tidak berambut. Volume antigen yang diinjeksikan harus lebih kecil atau sama dengan 50 ml per lokasi untuk menghindari trauma pada jaringan (US National Institutes Of Health, 2008)

Gambar 3.1 Rute Injeksi Intraperitoneal (US National Institutes Of Health, 2008)
Gambar 3.2 Rute Injeksi Intradermal (US National Institutes Of Health, 2008)
Rute injeksi yang lain yaitu secara intramuscular. Dalam melakukan injeksi ini, maka yang harus diingat adalah pada femur, terdapat jaringan syaraf, sehingga sebaiknya jarum suntik tidak menyentuh jaringan ini. Injeksi ini sebaiknya dilakukan pada daerah caudal (belakang kepala) dan tidak pada daerah cranial (muka kepala). Injeksi secara subcutanea dilakukan secara paralel pada kulit dan diinjeksikan langsung padaa daerah posterior hewan (US National Institutes Of Health, 2008). Cara injeksi secara intramuscular dan subcutanea dapat dilihat pada gambar 4.3 dan 4.4. Injeksi intravena dilakukan saat ekor berada pada kondisi tension, sehingga pembuluh vena dapat terlihat, dan injeksi dilakukan hingga ujung dari jarum suntik  ± 3 mm dari pembuluh vena. Hal yang harus dihindari adalah aspirasi, sebab akan menyebabkan kerusakan pada pembuluh vena, selain itu injeksi harus dilakukan secara perlahan untuk menghidari pecahnya pembuluh darah. Apabila terjadi swelling pada jaringan yang diinjeksikan, maka segera dicabut jarum dari lokasi injeksi, kemudian injeksi dilakukan lagi pada daerah diatas lokasi yang pertama (US National Institutes Of Health, 2008)
Gambar 3.3 Tipe Injeksi secara Intramuscular (US National Institutes Of Health, 2008)
Gambar 3.4 Tipe Injeksi secara Subcutanea (US National Institutes Of Health, 2008)


Mencit atau hewan coba kemudian dipelihara selama 2 minggu, hal ini bertujuan untuk menghasilkan sel-sel limfosit akibat respon injeksi antigen E.coli. Adanya perubahan berat badan pada mencit juga diamati sebagai data sekunder, sehingga nantinya dapat pula dikaitkan kondisi kesehatan mencit terhadap respon imunnya berupa jumlah sel limfosit. Prosedur selanjutnya adalah isolasi sel limfosit dari organ-organ limfoid pada mencit perlakuan.

3.1.2 Isolasi Sel Limfosit dari Organ Limfoid
Prosedur awal yang dilakukan sebelum melakukan isolasi limfosit adalah pembedahan pada mencit, yaitu dengan memotong kulit bagian ventral perut ke arah vertikal. Kulit mencit sebelumnya dibersihkan dengan alkohol 70% agar kulit yang dipotong berada dalam kondisi steril. Organ-organ yang diisolasi adalah organ-organ limfoid seperti limpa (spleen), timus, dan lymph nodes. Organ-organ ini merupakan organ sekunder tempat presenting antigen pertama kali oleh sel-sel imun. Organ-organ yang berfungsi sebagai produsen sel-sel limfosit tubuh, dibagi menjadi dua, yaitu organ primer dan organ sekunder. Organ primer yang berfungsi sebagai produsen sel limfosit adalah sumsum tulang belakang dan thymus untuk mamalia dan Bursa Fabricius pada burung. Bone marrow atau sumsum tulang belakang merupakan tempat diproduksinya sel-sel pluripoten calon sel darah. Bone marrow  juga merupakan tempat pematangan sel limfosit B. Selain bone marrow  ada pula organ yang disebut timus. Timus ini adalah organ yang terletak diatas jantung namun dibawah kelenjar thyroid dengan bentuk yang datar. Setiap lobul timus memiliki kompartmen yang disebut cortex (bagian luar) dan medullam (bagian dalam).bagian cortex dan medulla tersusun atas sel-sel ephitel, sel dendritik dan makrofag (Davis, 2009).
Lokasi dari isolasi organ-organ ini adalah berbeda-beda. Limpa diisolasi pada daerah di dekat lambung, timus diisolasi pada daerah di bawah jantung dan dekat dengan kelenjar tiroid, lymph nodes diisolasi dari daerah ketiak. Organ-organ yang sudah diisolasi ini kemudian dicuci dengan NaCl, hal ini bertujuan untuk membersihkan organ tersebut dari adiposit-adiposit maupun kotoran-kotoran yang dapat mengkontaminasi hasil isolasi sel limfosit. Larutan NaCl ini bersifat isotonis, sehingga tidak akan merusak sel. Organ-organ ini kemudian diisolasi sel limfositnya secara mekanik. Isolasi secara mekanik ini dilakukan dengan menggunakan spuit yang ditekankan pada organ, sehingga akan muncul suspensi isi sel. Isi sel ini ditampung pada cawan petri yang telah berisi larutan PBS dan juga disaring pada nylon milliopore. Larutan PBS atau Phosphat Buffer Saline ini merupakan larutan yang dapat menjaga osmolaritas larutan sebab memiliki kandungan phosphat sebagai komponen ATP dan juga saline sebagai buffer (Anonim, 2009). Pemencetan spuit pada organ dilakukan searah jarum jam, hal ini dilakukan agar tidak terjadi pemutaran arah pemencetan sehingga kondisi sel limfosit tetap utuh, apabila arah pemutaran dilakukan dua arah, yaitu dengan posisi spuit yang berputar, maka kemungkinan kerusakan mekanik pada sel-sel limfosit akan besar. Nylon milliophore berfungsi sebagai alat filtrasi sehingga hanya sel yang berukuran tertentu saja yang dapat tesaring, dan dalam hal ini adalah sel-sel limfosit.
Suspensi sel yang ada pada larutan PBS kemudian dipindah ke tabung eppendorf untuk persiapan sentrifugasi. Sentrifugasi dilakukan pada kecepatan 3500 rpm, 4°C selama 10 menit. Sentrifugasi ini berfungsi dalam pemisahan sel-sel limfosit dengan debris-debris sel lain yang ikut terambil saat isolasi sel dari organ limfoid. Hasil dari sentrifugasi ini adalah pelet dan supernatan. Supernatan merupakan debris sel yang tidak dianalisis, sedangkan pelet diambil dan diresuspensi dengan 500 ml PBS untuk menjaga kondisi pelet. Suspensi pelet lalu diambil sebanyak 5 ml dan ditambahkan 5 ml vital dye, kemudian suspensi ini dimasukkan dalam alat haemocytometer untuk penghitungan sel-sel limfosit. Fungsi dari vital dye ini adalah untuk mewarnai sel yang hidup dan mati. Contoh dari vital dye ini adalah metilen biru. Sel yang hidup akan berwarna bening, sedangkan sel yang mati akan berwarna biru. Adanya warna biru pada sel menunjukkan adanya kerusakan peran membran sel dalam menjaga permeabilitas dan fluktuasi solut yang dapat masuk dan keluar dari sel. Adanya kerusakan membran ini yang menyebabkan zat metilen biru akan dengan mudah masuk ke dalam sel (Sthrol et al, 2001). Haemocytometer digunakan sebagai alat bantu untuk menghitung jumlah sel. Cara dan skematik alat ini dapat dilihat pada gambar 4.5.

Gambar 3.5 Alat Haemocytometer (Petro, 2008)
Gambar 3.6 Proses Pemasukan Sampel Pada Alat Haemocytometer (Petro, 2008)

3.2 Analisis Hasil
3.2.1 Injeksi Antigen (E.coli) Pada Hewan Coba
Hasil yang diperoleh dari injeksi antigen pada hewan coba ini adalah adanya respon imun dari tubuh hewan (mencit) akibat masuknya E.coli dengan jumlah tertentu. Secara morfologi, mencit dengan perlakuan injeksi antigen 109 dan 108 memiliki tekstur feses yang lunak dan encer. Hal ini dikarenakan E.coli mengeluarkan toksin yang akan menstimulus feses agar tidak mengeras, namun ini terjadi apabila E.coli telah mengalami Quorum Sensing, yaitu jumlah tertentu dari mikroba sehingga dapat mengganggu organisme lain (Sthrol et all, 2001). Ciri lain adalah adanya penurunan berat badan mencit, terutama untuk perlakuan injeksi antigen 109. Penurunan berat badan ini mungkin dipengaruhi adanya E.coli berlebih dalam tubuh yang akhirnya menyebabkan mencit mengalami diare dan disertai dehidrasi. Namun faktor lain adalah sanitasi kandang yang tidak baik, hal ini dibuktikan dari adanya sekumpulan semut pada sekam di bak mencit dan juga kutu rambut yang banyak pada tubuh mencit. Mencit pada perlakuan 109 terlihat lemas dengan tubuh yang ringan dan perut yang membuncit.
Mencit dengan perlakuan injeksi 107 tidak mengalami perubahan berat badan yang drastis seperti halnya mencit dengan perlakuan injeksi antigen 108 dan 109. Hal ini mungkin dikarenakan mencit tersebut tidak sakit dan juga tidak terlalu merespon adanya antigen yang masuk, sehingga dapat dikatakan bahwa sistem imun dari mencit dapat mengatasinya. Feses dari mencit dengan perlakuan injeksi antigen 107 juga tidak terlalu mengalami perubahan. Namun respon imun ini tidak hanya dianalisis melalui morfologi mencit, oleh karena itu isolasi sel limfosit juga perlu dilakukan. Hasil praktikum juga menunjukkan bahwa E.coli dengan pengenceran 109 adalah lethal concentration, hal ini dapat dilihat dari kematian mencit ulangan pertama setelah 2 hari injeksi, dan juga morfologi mencit dengan ulangan kedua yang kurang sehat, sedangkan antigen dengan volume injeksi 107, tidak menunjukkan perubahan morfologi mencit. Antigen dengan volume injeksi 108, ternyata hanya sedikit memberikan perubahan morfologi mencit.

3.2.2 Isolasi Sel Limfosit dari Organ Limfoid
Perlakuan
Jumlah sel limfosit (sel/ml)
Jumlah (sel/ml)
Rata-rata (sel/ml)
Lymph node
Timus
Spleen
106
-
0,9x106
-
2,6x106
1,05x106
7,55x106
12,1x106
3,025x106
107
-
3,65x106
1,3x106
10,9x106
1,25x106
2,8x106
19,9x106
3,98x106
108
-
5,65x106
5x106
4,15x106
4,55x106
2x106
21,35x106
4,27x106
Kontrol

6x106

6x106
6x106
Hasil praktikum menunjukkan bahwa setiap organ sekunder limfoid memiliki sel-sel limfosit yang ditunjukkan dari adanya sel yang terwarnai biru yang menunjukkan bahwa sel tersebut mati dan ada juga sel yang tidak terwarnai yang menunjukkan bahwa sel tersebut masih hidup. Jumlah sel limfosit pada setiap organ berbeda-beda, dan hal ini dipengaruhi oleh tempat presentasi antigen tersebut oleh sel-sel limfosit. Ketika antigen masuk ke dalam tubuh, maka antigen akan dikenali oleh APC (Antigen Presenting Cell), dan APC ini akan membawa antigen ke situs yang memiliki banyak sel T, sehingga antigen ini akan langsung dikenali dan dihancurkan (Baratawidjaja, 1996). Hasil praktikum menunjukkan bahwa adanya perbedaan jumlah sel limfosit yang ditemukan pada organ timus kontrol dan timus perlakuan 106. Jumlah sel limfosit yang hidup dan mati antara kedua perlakuan tersebut berbeda jauh, jumlah sel limfosit pada timus kontrol jauh lebih besar daripada timus perlakuan. Jumlah sel limfosit seharusnya meningkat pada saat ada antigen masuk ke dalam tubuh mencit, sehingga jumlah sel limfosit pada timus perlakuan seharusnya lebih tinggi daripada jumlah sel limfosit yang ada pada timus kontrol. Hal ini dikarenakan, jumlah sel limfosit akan terus diproduksi selama antigen ada dan masuk ke dalam tubuh, dan adanya respon ikun sekunder juga turut mempercepat proses eliminir antigen (Campbell dkk, 2003). Respon imun sekunder pada mencit dilakukan dengan booster, sehingga apabila terdapat injeksi antigen untuk kedua kalinya, maka seharusnya jumlah sel limfosit pada mencit perlakuan juga lebih tinggi dan respon imunnya juga lebih cepat.
Hal yang sama juga terjadi pada jumlah sel limfosit pada organ lymph nodes, mencit dengan perlakuan 108 memiliki jumlah sel limfosit hidup sebanyak 5,65x106, sedangkan mencit dengan perlakuan 106 memiliki jumlah sel limfosit sebanyak 0,9x106. Adanya perbedaan jumlah sel ini mungkin dikarenakan kondisi fisik dari mencit sehingga jumlah sel limfosit yang hidup menjadi turun. Hal ini dapat dilihat dari keadaan kesehatan mencit yang buruk. Pengaruh berat badan terhadap jumlah sel limfosit yang diperoleh adalah berkaitan. Berat badan merupakan salah satu parameter kesehatan mencit, dan apabila berat badan mencit turun tiap harinya, maka dapat dipastikan mencit tersebut tidak nafsu makan dan minum. Hal ini mungkin diakibatkan kondisi fisik mencit yang kurang sehat, sehingga mencit menjadi lemas. Faktor kebersihan kandang dan juga mencit itu sendiri yang berpengaruh paling besar. Pada praktikum ini, terdapa mencit yang sakit dengan ciri-ciri berat badan turun, perut membuncit dan badan yang lemas. Mencit dengan ciri seperti ini ada pada setiap perlakuan. Kondisi fisik mencit yang tidak sehat ini turut mempengaruhi sel limfosit yang diproduksi. Hal ini berkaitan dengan kesehatan jaringan yang juga berdampak ke kesehatan organ, termasuk organ-organ limfoid.
Hal yang berbeda terdapat pada isolasi organ limpa. Jumlah sel limfosit yang terisolasi pada organ limpa berbeda di tiap perulangannya. Jumlah sel limfosit yang hidup pada ulangan pertama adalah 1,05x106, sedangkan pada ulangan  kedua, jumlah sel limfosit yang hidup adalah 7,55x106. Adanya perbedaan ini menunjukkan bahwa jumlah sel limfosit yang hidup pada organ limpa dengan perlakuan injeksi E.coli 107 adalah tinggi dibandingkan dengan sel limfosit yang mati, dan hal ini menunjukkan respon imun yang baik terhadap masuknya antigen pada tubuh sehingga tubuh mencit masih mentolerir E.coli dengan dosis 107.
Antigen adalah suatu molekul yang merangsang respon imun, dan juga merupakan molekul yang bereaksi terhadap antibodi atau sel T (Roitt, 2003), namun antigen ini berbeda dengan immunogen. Immunogen adalah suatu bahan atau makromolekul yang bisa menimbulkan respon imun, humoral ataupun selular. Protein yang makromolekular adalah immunogen poten. Antigen adalah bahan yang dapat bereaksi terhadap antibodi dan merupakan target dalam respon imun. Sehingga, tidak semua antigen adalah immunogen, contohnya adalah lipid dan asam nukleat (Campbell dkk, 2003). Antigen memiliki daerah pengenalan atau yang disebut epitop. Epitop ini region yang ada pada antigen dan bersifat spesifik. Bagian daerah hipervariabel antibodi yang kontak langsung dengan epitop antigen adalah paratop. Hasil dari respon masuknya antigen ke dalam tubuh adalah adanya antibodi (Wegrzyn, 2003). Jenis antigen yang masuk ke dalam tubuh dapat berbagai macam, yang menjadi perbedaannya adalah respon yang dimunculkan akibat introduksi antigen tersebut. Respon imun yang muncul dapat humoral maupun selular. Contoh-contoh antigen yang dapat dikenali tubuh adalah polen, debu, makanan, bakteri, virus, susu dsb (Judarwanto, 2005).

BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Hasil dari praktikum menunjukkan bahwa terjadi perbedaan jumlah sel limfosit antara mencit perlakuan dengan mencit kontrol di tiap-tiap organ limfoid yang diisolasi. Secara umum, jumlah sel limfosit yang hidup di tiap-tiap mencit perlakuan lebih tinggi daripada sel limfosit yang ada pada mencit kontrol. Jumlah sel limfosit ini dipengaruhi oleh kondisi fisik mencit, sebab kondisi fisik ini merupakan manifestasi dari kondisi kesehatan jaringan dan organ, termasuk organ limfoid. Adanya penurunan sel limfosit pada mencit perlakuan ini berhubungan dengan adanya penurunan berat badan mencit. Dosis 108 adalah dosis maksimum bagi mencit untuk mentolerir masuknya antigen E.coli.

4.2 Saran
Saran bagi praktikum selanjutnya yaitu adanya komunikasi yang baik antara asisten dan praktikan sehingga prosedur isolasi organ limfoid dapat berjalan lancar.
  
DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2010. Separation Of Complex Protein Mixture Through SDS-PAGE. http://www.milliophore.com. Tanggal akses 30 Oktober 2010
Baratawidjaja, K.G. 1996. Imunologi Dasar. Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta
BP POM. 2010. Pengujian Mikrobiologi Pangan. http://perpustakaan.pom.go.id. Tanggal akses 30 Oktober 2010
Burmester, G.R., Pezutto, A. 2003. Color Atlas Of Immunology. Thiemme. New York.
Campbell, N.A., Reece, J.B., Mitchell, L.G. 2003. Biology Fifth Edition. Benjamin Cummings. New York.
Hartnell Faculty. 2010. Genomic DNA. http://www.hartnel.ac.id. Tanggal akses 30 Oktober 2010
Judarwanto, W. 2005. Alergi Makanan, Diet dan Autisme. http://www.gizi.net. Tanggal akses 30 Oktober 2010
Lodish, Berk, Matsudaira, Kaiser, Krieger, Scott, Zipursky, Darnell. 2003. Moleculer Cell Biology Fifth Edition.
Petro, S. 2008. Fermentation In Yeast Saccharomyces cerevisiae. http://www.infocom.com. Tanggal akses 30 Oktober 2010
Playfair, J.H.L., Chain, B.M. 2005. Immunology At A Glance Eight Edition. Blackwell Publishing. Massachussets
Roitt, I.M. 2003. Essential Immunology. Blackwell Science Limited. Oxford
Strohl, William A,  Rouse,H,  Fisher, BD,  2001, Lippincott’s Illustrated Reviews: Microbiology, Lippincott William & Wilkins, USA
US National Institutes of Health. 2008. Injections. http://nature.com. Tanggal akses 30 Oktober 2010
Wang, M., Michel, L., Britton,W.J., Ward, P.H., Franco, M.F. 2008. Injections, Intradermal. http://wikigenes.com. Tanggal akses 30 Oktober 2010
Wegrzyn, A.N. 2003. Future Approaches to Food Allergy. Pediatrics 2003;111;1672-1680. www.pediatrics.org. Tanggal akses 30 Oktober 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar